Deregulasi merupakan pengurangan regulasi atau
peraturan yang dikeluarkan pemerintah, dalam rangka memberikan kesempatan
kepada pasar yang lebih efisien. Deregulasi yang dilakukan akan menghasilkan
adanya peningkatan persaingan, mempertinggi inovasi dan merger diantara
perilaku bisnis atau pesaing yang lemah
Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan
masih dinilai sebagai acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini
terlihat tidak adanya prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan
karena itu paket kali ini dianggap sebagai “kosmetik” saja. Para pengamat
melihat sentuhan deregulasi belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia.
Padahal, hampir setiap tahun pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan
deregulasi itu? Berikut beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah
dikeluarkan pemerintah dalam dekade 80-an dan 90-an:
1.
Tahun
1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di
sektor moneter, khususnya perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi
ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan
pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank
pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit.
Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik
untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang
ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18
persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
2.
Tahun
1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985
yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan
barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan
kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya
Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang
oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.
3.
Tahun
1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah
menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak
digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi,
ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.
4.
Tahun
1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987,
tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif
bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap
barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk
industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk
industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan
kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
5.
Juni
1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP
Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan
perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan
perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu
hanya tinggal dua.
6.
24
Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan
memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal,
PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas
keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini
diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk
ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan
ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor,
diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor.
Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai
pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya
hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis
ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
7.
Tahun
1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal
Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir,
sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan
nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk
kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto
88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini
bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk
mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta
seseorang sudah bisa punya bank BPR.
8.
21
November 1988
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi,
yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di
sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus
barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik
dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT
Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif
pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk
pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
9.
Tahun 1990
Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter,
khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib
mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau
maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam
Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset
maksimal Rp 600 juta.
10.
Mei 1990
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi
yang menyangkut empat sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan
pertanian. Dari empat sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif,
impor gandum, kelapa sawit, dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan
deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari
tata niaga atas komoditas pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang,
kayu manis, serta kopi. Lalu untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan
berlaku untuk semua jenis ternak, beternak, pemotongan hewan, dan produksi
hewan. Bidang kesehatan, terjadi penyerdehanaan ijin usaha untuk industri
farmasi, perdagangan besar farmasi, apotek, industri obat, pendaftaran obat,
tata niaga impor, dan bahan baku obat. Sementara untuk perdagangan terjadi
pengurangan dan penambahan pos baru. Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi
9.250 pos tarif dan terdapat penambahan 387 pos baru.
11.
Tahun
1991
Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat
untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni
1991, pemerintah kembali “meluncurkan” serangkaian paket deregulasi bidang:
investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi
kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga,
Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus
untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen.
Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri
bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen.
Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai
V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah
para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti
paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan
truk, harga truk anjlok.
12.
Tahun
1992
Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan
paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja,
pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh
usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun.
Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata
niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos
tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos
tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos
tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor
oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing,
dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen
teknis.
13.
Tahun
1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi
Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau
rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan
akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan
loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan
ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada
grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat
digunakan untuk kegiatan tidak produktif.
14.
10 Juni
1993
Pemerintah kembali “menggebrak” lewat paket
deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat
pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan
lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen.
Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol
persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan
nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen.
Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh
(build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri
maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum
pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk.
Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu
dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di
tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.
15.
Tahun
1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka
pintu lebar-lebar kepada PMA untuk “menabur” duitnya disegala bidang dan sektor
ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang
banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan
mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA
bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang
membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak
konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak
bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA
ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang “haram” dimasuki oleh PMA. Ya,
bidang pers salah satunya.
16.
Tahun
1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995
(Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif
bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan,
restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan
berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah
juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan
kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan
diturunkan secara bertahap.
17.
Tahun
1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket
deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi
kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea
masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor
non migas.
18.
4 Juni
1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan
deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan
tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4)
penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan
ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8)
penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran
temapt penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA
manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri.
Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari
7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri
dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan
bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia
(KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban
penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga
menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah bermukim
di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama memperoleh
persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
19.
Tahun
1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai
sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi
tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi:
pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian,
perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti
juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi
daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan
pengolahan tanah
Penurunan tarif
terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif, pertanian 136
pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak 7.261
sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama.
Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk
pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos
tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan berkurangnya
pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami penurunan
dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.
Dalam paket Juli ini,
untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang
sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan
oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang
menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah
juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan ketentuan selama
kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor,
pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang sebelumnya Rp
100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan baru ini, para pengusaha
kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika akan mengekspor barang
dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang hingga Rp 300 juta
tanpa PEB.
Sementara untuk
perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas
pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal
dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian
fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan
bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak
dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18 Tahun 1997, pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997, tentang pajak
daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah, guna
penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak daerah
yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk retribusi
daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari UU
Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua penerimaan negara bukan
pajak harus disetorkan ke kas negara.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis
penerimaan negara bukan pajak di semua
departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan
kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil
penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan
hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara,
penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan
penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga
mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan
lembaga non departemen.
Pemerintah juga
membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang dalam bentuk
perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk
berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter,
khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru
untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak
diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru.
Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).
Sementara impor
minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng, yang semula
dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan baru
pemerintah menurunkan jadi lima persen.
Paket Deregulasi
Perbankan Tahun 80′an-90′an
20.Tahun 1983
Pemerintah
mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbangkan,
lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan
daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito
berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga
deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang
memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada
saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang
bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
21.
Tahun
1985
Pemerintah
memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang
Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS.
Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing
(SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi
pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh
dunia usaha.
22.
Tahun
1986
Lewat
paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE
merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh
pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit
ekspor.
23. Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan
deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin
industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah
memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil,
kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan
perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor,
pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan
bagian kendaraan bermotor.
24.
Juni
1987
Pemerintah
mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor
16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang
pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat
ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
25.
24
Desember 1987
Pemerintah kembali
membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam
bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan
saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada
barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha
yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan
menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah
berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan
lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu
ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan
baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang
semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua
ijin.
26.
Tahun
1988
Inilah tahun booming
dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang
pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan
bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru
bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan
deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak
hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa
merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk
mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50
juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.
27. 21 November 1988
Pemerintah kembali
mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang
selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan
laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing,
penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen.
Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini,
pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik
boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan
pabrik baja di Cilegon itu.
28.
Tahun
1990
Pemerintah membuat
gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990
(Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total
kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada
pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori
usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.
29.
Mei 1990
Pemerintah kembali
mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat sektor pembangunan:
industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat sektor yang
disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit, dan bahan
baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu.
Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas pala,
sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu
untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak,
beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi
penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi,
apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat.
Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru.
Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan
387 pos baru.
30.
Tahun
1991
Tampaknya bulan Juni,
dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali “meluncurkan” serangkaian
paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan
keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam
persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra,
Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak
impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan
daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun,
importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran
impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna
(jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang
ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi
ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.
31.
Tahun
1992
Tanggal 6 Juli 1992,
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi,
perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara
lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal
asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan
Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos
tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos
tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk
hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin
bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi.
Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak
perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.
32.
Tahun
1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi
Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau
rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan
akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan
loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga.
Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit
kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta
dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.
33.
10 Juni
1993
Pemerintah kembali “menggebrak” lewat paket
deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat
pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan
lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen.
Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol
persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan
dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen.
Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh
(build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri
maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum
pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk.
Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu
dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di
tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.
34.
Tahun
1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka
pintu lebar-lebar kepada PMA untuk “menabur” duitnya disegala bidang dan sektor
ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang
banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan
mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA
bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang
membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak
konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak
bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA
ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang “haram” dimasuki oleh PMA. Ya,
bidang pers salah satunya.
35.
Tahun
1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995
(Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif
bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan,
restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan
berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah
juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan
kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan
diturunkan secara bertahap.
36.
Tahun
1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket
deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi
kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea
masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor
non migas.
37.
4 Juni
1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah
kebijakan deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2)
perubahan tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan,
(4) penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan
ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8)
penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt
penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA
manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku
industri. Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos
tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan
melindungi industri dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk
anti dumping dan bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah
menghapus kewajiban penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta.
Pemerintah juga menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang
telah bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama
memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
38.Tahun 1997
nilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai
sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi
tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi:
pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian,
perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti
juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi
daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan
pengolahan tanah
Sumber :
- http://ariandanugrohosblog.blogspot.com/2010/10/deregulasi-bank-deregulasi-merupakan.html
-
https://mettamustika.wordpress.com/2009/10/12/paket-deregulasi-perbankan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar